Masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang dikenal dengan sebutan Orde Baru, berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Selama lebih dari tiga dekade tersebut, Soeharto menerapkan berbagai kebijakan dan strategi yang membentuk gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan Soeharto dapat dianalisis dari beberapa aspek utama, antara lain: otoriter, centralistik, dan pragmatis.
Soeharto dikenal sebagai seorang pemimpin yang otoriter. Ia mengambil alih kekuasaan setelah meruntuhkan pemerintahan Presiden Soekarno melalui Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) pada tahun 1966.
Dalam pemerintahan Orde Baru, Soeharto memperkuat kontrolnya terhadap kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial. Pembatasan terhadap kebebasan berpendapat menjadi ciri khas dari gaya kepemimpinannya. Media massa dikendalikan, partai politik dibatasi, dan oposisi ditekan dengan keras.
Hal ini terlihat dari kebijakan pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penangkapan terhadap banyak tokoh politik yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
Gaya Kepemimpinan yang Diusung oleh Presiden Soeharto yang otoriter ini sering kali dianggap berhasil dalam menciptakan stabilitas politik pada awal masa pemerintahannya, meskipun dengan biaya pelanggaran hak asasi manusia.
2. Sentralisasi Kekuasaan
Gaya kepemimpinan Soeharto juga ditandai oleh sentralisasi kekuasaan yang kuat. Semua keputusan penting diambil oleh Soeharto dan lingkaran dekatnya, sementara institusi-institusi pemerintah lainnya sering kali menjadi alat untuk mendukung kebijakan yang telah ditetapkannya.
Dalam banyak kasus, Soeharto memanfaatkan militer sebagai alat untuk mencapai kekuasaan dan mempertahankan stabilitas.
Pendekatan ini juga terlihat dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang terencana dengan erat di bawah kendali pemerintah pusat. Proyek-proyek pembangunan sering kali dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat setempat, sehingga mengabaikan kepentingan lokal.
3. Pragmatism dan Pembangunan Ekonomi
Salah satu aspek penting dari gaya kepemimpinan Soeharto adalah pragmatisme dalam pengambilan keputusan, terutama dalam hal pembangunan ekonomi.
Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, terutama pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an. Soeharto mengadopsi berbagai kebijakan ekonomi yang terbuka dan mendorong investasi asing, meskipun tetap dalam konteks kontrol pemerintah.
Pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan menjadi fokus utama, dan Indonesia berhasil mencapai status sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan di Asia. Namun, kebijakan ini juga dikritik karena menciptakan kesenjangan sosial dan menguntungkan segelintir elit politik dan bisnis.
4. Ketahanan Nasional dan Pembangunan Ideologi
Gaya kepemimpinan Soeharto juga sangat berfokus pada konsep ketahanan nasional yang mengedepankan kesatuan dan stabilitas. Ia memperkenalkan doktrin “Pancasila” sebagai ideologi negara yang menjadi landasan segala kebijakan pemerintahan.
Penggunaan Pancasila sebagai alat legitimasi politik sering kali dipergunakan untuk membenarkan tindakan represif terhadap penentang politik.
Pemerintah Orde Baru berusaha untuk membentuk sebuah masyarakat yang tunduk pada nilai-nilai Pancasila, dengan pendidikan yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk menanamkan ideologi resmi dan disiplin sosial.
Kesimpulan
Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru menciptakan sebuah pemerintahan yang stabil, tetapi juga sarat dengan kekurangan dan kontroversi. Kepemimpinan otoriter dan sentralisasi kekuasaan telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan.
Di sisi lain, pragmatisme dalam pembangunan ekonomi membawa Indonesia ke arah pertumbuhan yang lebih baik, meskipun dengan implikasi sosial yang tidak seimbang. Warisan kepemimpinannya masih menjadi topik perdebatan yang relevan dalam konteks politik dan sosial Indonesia hingga saat ini.